Kamis, 27 Mei 2010

EKOSISTEM MANGROVE DAN HEWAN LANGKA SEMAKIN RUSAK

Pesisir dan hutan mangrove harus dilestarikan, sebanyak 1.665 warga Pahawang pernah merasakan langsung pengalaman buruk akibat rusaknya lingkungan mereka. Akibatnya areal mangrove seluas 141,94 hektar di pulau itu, mulai tahun 1975an warga Desa Pahawang diterpa wabah malaria. Nyamuk menyerbu ke desa gara-gara hutan bakau yang menjadi ekosistemnya rusak.
Belum hilang pengalaman pahit yang membawa Pahawang menyabet label daerah endemic malaria, warga harus ditimpa kesulitan lainnya. Susutnya mata pencarian nelayan akibat kerusakan ekosistem terumbu karang. Kondisi ini menyusul maraknya aksi pengeboman ikan pada akhir 1990an hingga pertengahan 2000an.
Pengalaman-pengalaman pahit itulah yang kemudian menguatkan mental warga Pahawang untuk tetap bersemangat menjaga ekosistem mangrove dan terumbu karang. Pahawang akan semakin dikenal dan meninggalkan ketertinggalannya lewat konsep ekowisata di Lampung. Bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM) Mitra Bentala, Pulau Pahawang tengah mengarah menjadi kawasan percontohan ekowisata di Lampung.
Dengan adanya cerita kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang, terjadi juga cerita tentang penyelundupan satwa langka oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur menggagalkan penyelundupan 18 ekor burung kakatua yang dilindungi, terdiri dari 14 ekor kakatua jambul kuning (Cacatua galerita), 3 ekor kakaktua raja (Probosciger aterrimus) dan 1 ekor kakaktua kecil jambul kuning (Cacatua Sulphurea). Satwa langka ini akan dikirim ke Jakarta dengan pesawat terbang di Bandara Internasional Juanda, Sidoarjo, minggu (2/5) dini hari.
Penagkapan berawal dari pengintaian petugas intelijen Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jatim di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, selama lima hari. Ketiga jenis kakatua tersebut dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Simber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Hewan-hewan endemic Maluku dan Papua ini dilindungi mutlak tidak boleh dibawa keluar habitat aslinya tanpa seizin pemerintah. Tersangka atas tindakkannya dijerat Pasal 21 Ayat (2) Huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dengan sanksi hukuman pidana penjara maksimal lima tahun dan denda maksimal 100 juta rupiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar