Kamis, 27 Mei 2010

AMBISI EKONOMIS MEMBUAT KEPUNAHAN SATWA LIAR

Suaka Margasatwa Berubah Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit
Suaka Margasatwa Balai Raja di Desa Sebanga, Duri, Riau, telah lenyap. Kawasan hutan seluas 16.000 hektar yang pada awal 1990-an ditetapkan sebagai areal konservasi gajah itu kini hampir tidak ada lagi karena sudah menjadi perkebunan kelapa sawit. Pusat Latihan Gajah yang disahkan Gubernur Riau pada Juni 1992 sebagai kawasan konservasi gajah seluas 5.873 hektar merupakan satu kesatuan kawasan dengan Suaka Margasatwa Balai Raja hanya tersisa 50 hektar. Saat ini seluruh Suaka Margasatwa sudah hilang, sementara kawanan gajah tidak jadi direlokasi dan kawanan gajah liar saat ini kerap masuk pemukiman penduduk.
Sisa hutan yang 50 hektar pun tidak layak disebut hutan. Lahan itu berupa semak belukar dari rawa-rawa yang ada disekeliling kawasan Pusat Latihan Gajah. Kawasan perumahan pegawai Pusat Latihan Gajah pun kini sudah ditanami kelapa sawit. Dilapangan, lahan yang tersisa hanyalah tempat bermain gajah seluas sekitar 2 hektar. Apabila akan terjadi seperti ini terus dipastikan gajah-gajah asli dari Sumatera akan punah dan gajah-gajah liar dipastikan akan memasuki desa-desa warga untuk mencari makanannya.
Tidak hanya gajah-gajah asli Sumatera yang akan mengalami kepunahan, satwa liar Maleo di Sulawesi dapat terancam juga, karena sejumlah ahli satwa nasional menyatakan prihatin atas menurunnya populasi burung maleo 20 tahun terakhir. Dalam konferensi internasional mengenai maleo di Tomohon Sulawesi Utara, sejumlah ahli satwa menyatakan, perlindungan terhadap maleo adalah hal mendesak mengingat maraknya perburuan maleo oleh masyarakat.
Maleo tergolong satwa liar yang endemic (hanya hidup disuatu lokasi tertentu saja) di dataran Sulawesi, lebih khusus di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Populasi maleo turun drastis dalam beberapa decade terakhir dari sekitar 25.000 menjadi kurang dari 14.000 ekor. Aktivitas pengumpulan telur adalah penyebab utamanya dan ini mengakibatkan menghilangnya maleo dari sejumlah tempat di Sulawesi. Maleo hidup di hutan hujan tropis Sulawesi dan menimbun telurnya di tanah yang hangat atau di pantai yang terpapar panas matahari. Mansyarakat lokal mengumpulkan telur untuk di konsumsi, diperdagangkan dan dijadikan cendera mata.
Daerah sebaran yang terbatas dan perilaku peneluran yang unik menjadikan maleo symbol satwa liar Sulawesi. Ancaman kepunahan maleo didengungkan paertama kali pada tahun 1949. Hal itu dilanjutkan dalam program konservasi maleo pada 1978 di Panua (Gorontalo), di Taman Nasional Bogini Nani Wartabone (Sulawesi Utara).
Mengapa Harus Diselamatkan?. .
Ambisi ekonomis yang telah menyebabkan jutaan hektar hutan hujan tropis di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan lainnya dibabat habis setiap tahunnya. Padahal, hutan tersebut merupakan habitat satwa-satwa liar. Salah satunya merupakan habitat orang utan, yaitu jenis kera besar yang hanya terdapat di Sumatra dan Kalimantan. Boleh dibilang, Sumatra bagian utara dan Kalimantan merupakan “benteng terakhir” habitat orang utan saat ini. Orang utan yang diperkirakan sudah ada sejak periode Pleistosen sekitar 2 juta tahun hingga 100.000 tahun lalu, semula tersebar di sejumlah wilayah di Asia Tenggara. Namun, akibat perburuan dan pembabatan hutan, kini orang utan sudah punah di kawasan Asia lainnya dan hanya tersisa di Kalimantan dan Sumatera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar